
Di tengah kemegahan Kesultanan Mataram, saat semangat kebangsaan membara di dada para bangsawan, Sultan Agung mengambil keputusan yang akan mengguncang dunia: mengangkat senjata melawan VOC di Batavia.
Di Balairung Agung Keraton, di bawah naungan bendera kebesaran Mataram, berkumpullah para adipati, tumenggung, dan pembesar kerajaan. Riuh rendah suara perdebatan berubah menjadi satu suara bulat: Mataram akan berperang! Dipimpin tangan besi Sultan Agung, perang suci melawan penindasan segera dimulai.
Sang Raja memilih panglima terbaik dari antara para ksatria: Tumenggung Bahurekso, Adipati Kendal, Gubernur Pesisir Utara. Di pundaknya, seluruh harapan negeri dititipkan.
Seketika, Kendal berubah wajah. Kota pesisir yang damai itu menjelma menjadi jantung persiapan perang. Bendera-bendera perang berkibar di sepanjang jalan. Rakyat bersatu. Genderang perang bergema dari pantai ke perbukitan.
Tokoh-tokoh besar berdatangan dari seluruh penjuru Mataram: Pangeran Purboyo, Pangeran Joeminah, Tumenggung Mandurorejo, Tumenggung Upashanta, Pangeran Sambong, hingga Patih Singoranu, penerus Ki Juru Martani. Para adipati, tumenggung, dan sentono kerajaan memenuhi tanah Kendal, membawa ribuan prajurit, senjata, serta semangat membara.
Kendal menjadi saksi. Di tanah ini, sumpah suci diikrarkan: “Pantang mundur sebelum Batavia tunduk!”
Semangat perjuangan itu menyalakan api yang tidak pernah padam, mengalir melalui darah keturunan bangsa ini hingga kini. Kendal berdiri, bukan hanya sebagai kota, tapi sebagai simbol abadi dari perlawanan dan kebesaran Nusantara.(disarikan dari berbagai sumber/Turadi/Hamdi)