ROBANTV.CO.ID –Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil bukan sekadar koreksi hukum, tetapi penegasan ulang batas dasar negara: bahwa fungsi keamanan dan fungsi sipil tidak boleh disatukan dalam satu tubuh yang sama. Demokrasi modern berdiri justru karena ada pemisahan antara aparat bersenjata dan pengelola administrasi negara. Ketika garis batas itu kabur, maka bukan hanya birokrasi yang tumpang tindih, tetapi kepercayaan publik ikut runtuh.
Selama lebih dari dua dekade pasca pemisahan Polri dari TNI, Indonesia terus berusaha memastikan bahwa kepolisian menjalankan tugasnya sebagai aparat penegak hukum yang profesional, independen, dan tidak terseret arus kekuasaan politik. Namun dalam praktiknya, ruang abu-abu tetap dibiarkan hidup. Melalui mekanisme penugasan Kapolri, anggota aktif dapat menempati jabatan sipil strategis yang seharusnya diperuntukkan bagi ASN. Celah inilah yang akhirnya menumpuk menjadi problem konstitusional yang membesar.
Putusan MK terbaru secara tegas memutus celah itu. Anggota Polri aktif tidak boleh lagi menduduki jabatan sipil apa pun, kecuali jabatan yang memang bersifat pengabdian keagamaan atau jabatan sementara non-struktural yang tidak memiliki kekuasaan administratif. Siapa pun anggota Polri yang berminat menjadi pejabat sipil, harus mundur atau pensiun terlebih dahulu. Kejelasan ini penting karena negara tidak bisa menoleransi ambiguitas yang melahirkan konsentrasi kekuasaan yang terlalu besar pada satu institusi.
Di titik ini, putusan MK bukan hanya jawaban atas persoalan hukum, tetapi juga sinyal bahwa demokrasi Indonesia sedang menuntut disiplin institusional yang lebih kuat. Selama ini, berbagai laporan lapangan menunjukkan anggota Polri aktif mengisi ribuan posisi sipil di kementerian, lembaga, bahkan badan strategis. Ada perwira yang menjabat di KPK, BNPT, BNN, lembaga pengawasan, hingga pemerintah daerah. Di tingkat daerah pun fenomenanya berulang: dari kursi komisaris BUMD hingga jabatan struktural di dinas pemerintahan.
Di tengah banyaknya temuan tersebut, sebuah gejala menarik muncul dari daerah, yakni rencana pemilihan Ketua KONI Batang yang kabarnya akan diisi oleh seorang anggota Polres Batang yang masih aktif. KONI, meski bukan lembaga pemerintah, tetap merupakan organisasi publik yang mengelola anggaran negara dan berperan langsung dalam kegiatan olahraga formal kabupaten. Kursi ketuanya bukan jabatan seremonial; ia memiliki otoritas, anggaran, pengaruh politik lokal, serta jejaring dengan para pemangku kepentingan daerah. Menempatkan anggota Polri aktif di kursi ini jelas bertentangan dengan semangat putusan MK, yang ingin memastikan bahwa institusi kepolisian tidak terseret masuk ke arena pengelolaan sipil, termasuk organisasi olahraga yang berada dalam struktur pembinaan pemerintah daerah.
Kita tentu memahami bahwa banyak anggota Polri berprestasi, kapabel, dan memiliki jejaring yang luas. Tetapi kapabilitas individual tidak boleh melampaui batas konstitusional kelembagaan. Demokrasi tidak dibangun berdasarkan niat baik personal, melainkan berdasarkan aturan dan struktur yang menjaga agar kekuasaan tidak disalahgunakan — bahkan ketika pelakunya berniat baik.
Kasus di Batang ini menjadi contoh bahwa sebagian bagian institusi Polri mungkin masih menganggap putusan MK sebagai hal teknis belaka yang tidak perlu dipatuhi sepenuhnya. Padahal, mengabaikan putusan MK adalah mengabaikan konstitusi itu sendiri. Sikap seperti ini, bila dibiarkan, berpotensi menular ke berbagai daerah lain dan membuat putusan MK hanya menjadi deretan paragraf di atas kertas tanpa daya paksa moral maupun politik.
Ada beberapa lapisan masalah yang perlu dibaca secara akademik dan objektif. Pertama, dari perspektif tata negara, rangkap jabatan sipil oleh aparat bersenjata menciptakan konflik kepentingan struktural. Seorang anggota Polri aktif memiliki kontrol komando, akses kewenangan koersif, serta jaringan internal yang tidak dimiliki oleh aktor sipil. Ketika ia masuk ke jabatan sipil, ia bukan bersaing sebagai individu, tetapi membawa privilese institusional yang melemahkan prinsip level playing field dalam demokrasi.
Kedua, rangkap jabatan sipil oleh Polri mengganggu meritokrasi ASN. Jabatan sipil strategis seharusnya diisi melalui sistem kompetisi terbuka. Jika kursi sipil dapat langsung diisi oleh perwira aktif, proses seleksi menjadi simbolik saja, dan ASN yang kariernya ditempa puluhan tahun akan merasa sistemnya tidak adil. Reproduksi ketidakadilan birokrasi ini berbahaya bagi motivasi internal ASN dan kualitas tata kelola pemerintahan secara keseluruhan.
Ketiga, fenomena ini mengikis batas fungsional Polri. Fungsi kepolisian adalah penegakan hukum, pemeliharaan keamanan, dan perlindungan masyarakat. Ketika perwira aktif ikut mengelola anggaran, merumuskan kebijakan, atau memimpin institusi publik, fungsi itu bercampur dengan fungsi administratif negara. Pemusatan peran seperti ini hanya melahirkan ketidakefisienan, tumpang tindih otoritas, dan pada beberapa kasus dapat memberi peluang penyalahgunaan kewenangan.
Dari sisi sosiopolitik, rangkap jabatan juga mendorong persepsi bahwa institusi sipil semakin dikooptasi oleh aparat keamanan. Persepsi publik ini sangat berbahaya. Demokrasi dibangun atas prinsip bahwa kekuasaan sipil berada di atas kekuatan bersenjata. Jika publik melihat aparat bersenjata mulai masuk ke ranah sipil, kepercayaan terhadap proses demokrasi menurun. Bahkan bila tidak ada pelanggaran apa pun, sekadar “tampilan” dominasi aparat keamanan dalam struktur sipil sudah cukup untuk menimbulkan ketakutan politik.
Oleh karena itu, putusan MK harus menjadi alarm keras bagi pemerintah, Polri, dan seluruh lembaga negara. Implementasinya tidak boleh setengah hati. Polri, sebagai institusi yang besar dan kuat, justru harus menjadi pihak pertama yang menunjukkan komitmen penuh pada tertib konstitusional. Tidak boleh ada lagi pembenaran internal untuk “penugasan” ke jabatan sipil. Tidak boleh ada alasan “situasional”. Tidak boleh ada kelonggaran “selama tidak bermasalah”. Putusan MK adalah final dan mengikat, bukan bahan negosiasi.
Khusus kasus seperti rencana pemilihan Ketua KONI Batang dari anggota Polres Batang, Polri seharusnya bertindak proaktif. Kapolres dan Kapolda mesti memberi arahan tegas bahwa anggota Polri aktif tidak boleh ikut kontestasi jabatan sipil dalam bentuk apa pun. Langkah ini penting bukan hanya untuk menaati putusan MK, tetapi juga untuk memberi teladan bahwa Polri adalah lembaga yang dewasa, matang, dan memahami batas perannya dalam demokrasi.
Ke depan, pemerintah pusat perlu menyusun pedoman implementasi putusan MK yang detail, termasuk daftar jabatan sipil yang dilarang, mekanisme transisi, serta kewajiban pelaporan terbuka tentang anggota Polri aktif yang masih menduduki posisi sipil. Transparansi ini krusial agar publik dapat ikut mengawasi. Tanpa pengawasan publik, kekuatan institusional sebesar apa pun cenderung kembali ke zona nyamannya.
Pada akhirnya, putusan MK adalah kesempatan untuk memperbaiki arsitektur negara. Kita sedang diberi peluang untuk memperjelas garis antara kekuasaan sipil dan kekuasaan bersenjata. Jangan sampai kesempatan ini berlalu begitu saja. Lebih-lebih, jangan sampai Polri menganggapnya ringan. Karena ketika institusi yang memegang kewenangan koersif mulai mengabaikan putusan konstitusional, itulah tanda bahwa demokrasi sedang memasuki wilayah berbahaya.
Indonesia membutuhkan Polri yang kuat, tetapi juga Polri yang patuh pada hukum dan batas konstitusional. Profesionalisme bukan hanya soal kemampuan teknis, tetapi juga kesediaan menahan diri dari kekuasaan yang bukan menjadi haknya. Menjaga jarak dari jabatan sipil adalah bagian dari kedewasaan itu. Dan putusan MK adalah pengingat keras bahwa demokrasi hanya dapat dipertahankan jika semua lembaga negara — tanpa kecuali — menghormati batas-batas yang telah ditetapkan konstitusi.
Opini
Redaktur Pelaksana
M. Khamdi


Komentar