
robantv.co.idIBatang-Proses pemotongan kapal atau scraping KM Budi Mulia 66 yang berlangsung di wilayah Kabupaten Batang, Jawa Tengah, menuai sorotan tajam dari sejumlah pihak. Kegiatan ini diduga dilakukan tanpa memenuhi standar operasional dan regulasi lingkungan yang semestinya, serta berpotensi mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan masyarakat sekitar.
Sekretaris Jenderal Gerakan Nasional Peduli Bangsa (GNPB), Eky Diantara, menyatakan dengan tegas bahwa Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Batang patut diduga menutup mata terhadap aktivitas ilegal ini. Menurut Eky, hasil verifikasi ke Kementerian Perhubungan menunjukkan bahwa proses penutuhan KM Budi Mulia 66 belum mengantongi izin resmi untuk kegiatan salvage.
“Secara mendalam kami sudah melakukan kroscek ke Kemenhub. Proses craping KM Budi Mulia 66 jelas belum memiliki izin salvage. Karena itu, kami menduga kuat KSOP Batang tutup mata terhadap pelanggaran ini. Kami juga telah melaporkan hal ini secara resmi kepada Kemenhub,” ujar Eky.
Lebih jauh, berdasarkan pantauan warga setempat, proses pemotongan kapal tersebut tidak disertai pengawasan terhadap dokumen penting seperti Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL). Ketiadaan pengawasan teknis ini dikhawatirkan akan berdampak serius pada ekosistem laut dan penghidupan para nelayan.
Nadif, salah seorang warga sekaligus nelayan di wilayah tersebut, mengungkapkan bahwa proses pemotongan semestinya dilakukan dengan pengawasan ketat dari dinas lingkungan hidup. “Seharusnya ada tim teknis yang mengelola dan memantau dampak lingkungan sesuai ketentuan UKL-UPL. Namun di lapangan, kami tidak melihat adanya pengawasan tersebut. Ini sangat merugikan kami sebagai nelayan karena pencemaran laut langsung mempengaruhi hasil tangkapan dan keberlangsungan ekosistem laut,” keluhnya.
Menurut Nadif, bangkai kapal yang dipotong tanpa prosedur jelas bisa mengandung zat-zat berbahaya seperti asbes, logam berat, hidrokarbon, limbah berminyak, hingga zat perusak ozon. Oleh karena itu, diperlukan pedoman teknis dan pengawasan ketat untuk meminimalkan risiko pencemaran dan ancaman terhadap kesehatan masyarakat.
Ia juga menyoroti bahwa secara prosedural, penutuhan kapal harus memenuhi sejumlah persyaratan, termasuk surat pemotongan, dokumen penghapusan registrasi kapal dari daftar kapal Indonesia, serta surat persetujuan resmi untuk melakukan pemotongan. “Selain kelengkapan dokumen, aspek keselamatan kerja, alat pelindung diri, dan metode pemotongan yang ramah lingkungan juga wajib dipenuhi,” tegas Nadif.
Sementara itu, Kepala KSOP Batang melalui perwakilannya, Arman, menyatakan bahwa surat penghapusan kapal KM Budi Mulia 66 memang telah dikeluarkan sejak tahun 2024. Namun, pihaknya mengaku tidak mengetahui secara detail perkembangan teknis terkait UKL-UPL maupun keterlibatan agen lokal yang dipercaya oleh pemilik kapal.
“Kami tahu izin penghapusan sudah keluar, tapi untuk teknis UKL-UPL dan lainnya, itu diserahkan ke agen lokal oleh pihak owner kapal,” jelas Arman.
Kasus ini menjadi refleksi penting mengenai lemahnya pengawasan terhadap kegiatan industri maritim yang berisiko tinggi terhadap lingkungan. Diperlukan langkah tegas dari pihak berwenang untuk memastikan bahwa setiap proses penutuhan kapal dilakukan secara legal, aman, dan berkelanjutan.(red)