
Di sebuah sudut tenang Desa Kalipucang Wetan, Kabupaten Batang, suara lantunan selawat terdengar lirih bersamaan dengan gerakan tangan yang lincah menggurat malam di atas kain putih. Inilah Batik Rifa’iyah — bukan sekadar warisan budaya, tapi napas hidup yang mengalir dari para perempuan desa.
Faelasufa Faiz, Ketua Tim Penggerak PKK sekaligus Ketua Dekranasda Kabupaten Batang, menyaksikan sendiri keajaiban itu. Sabtu (19/4/2025) lalu, ia berkunjung ke Galeri Batik Rifa’iyah, dan kagum dengan semangat para perempuan yang bukan hanya menjaga tradisi, tapi juga mengubahnya menjadi kekuatan ekonomi.
“Perempuan di sini telah menunjukkan bahwa membatik bukan hanya kegiatan seni, tapi juga cara untuk mandiri dan percaya diri,” ujar Faelasufa yang merupakan istri Bupati Batang M. Faiz Kurniawan. “Batik Rifa’iyah memberi peluang kepada mereka yang tak bisa bekerja secara formal untuk tetap berkarya dan berdaya.”
Batik ini tak seperti kebanyakan. Setiap motifnya menyimpan filosofi dari ajaran Kyai Ahmad Rifai, tokoh dakwah yang jadi inspirasi gerakan ini. Tak heran, dalam proses pembuatannya pun para pembatik selalu berselawat—sebuah refleksi spiritual yang melebur dalam karya.
Meski berakar dari nilai-nilai lama, Batik Rifa’iyah memiliki harapan masa depan yang cerah. Faelasufa menilai, potensi batik ini mampu bersaing di pasar nasional, bahkan internasional, asalkan didukung dengan strategi pemasaran yang tepat dan regenerasi pembatik yang terus berjalan.
Namun di balik pesona itu, terselip tantangan regenerasi. Miftakhutin, salah satu pembatik senior, menyebut minat generasi muda masih terbatas. Beruntung, pelajar dari SMK Neswara mulai menunjukkan ketertarikan.
“Anak-anak muda mulai belajar dengan serius. Kami juga libatkan anak-cucu agar tidak terputus,” kata Miftakhutin.
Batik Rifa’iyah bukan hanya karya visual. Ia adalah kisah tentang perempuan, iman, dan harapan—yang dijahit bersama dalam tiap helai kain, mengalun dalam tiap selawat, dan kini, siap menjangkau dunia. (Hamdi/red)