ROBANTV.CO.ID | JAKARTA – Dugaan penggunaan ijazah palsu oleh Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arsul Sani kembali memantik perhatian publik. Aliansi Masyarakat Pemantau Konstitusi (AMPK) resmi melayangkan laporan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI, menuntut penelusuran terhadap proses uji kelayakan Arsul saat masih berada di hadapan Komisi III DPR.
Dalam laporannya, AMPK menyoroti dokumen pendidikan tingkat doktor milik Arsul. Mereka mendesak MKD menilai apakah Komisi III pada periode sebelumnya telah lalai atau kurang cermat memverifikasi validitas ijazah tersebut ketika Arsul diusulkan menjadi hakim MK. Menurut AMPK, dugaan ketidaksesuaian dokumen akademik itu perlu ditindak agar tidak mencederai integritas lembaga negara.
Pimpinan DPR merespons laporan itu dengan hati-hati. Wakil Ketua DPR, Cucun Ahmad Syamsurijal, menyebut bahwa MKD akan lebih dulu mengecek materi laporan serta kelengkapan bukti yang diajukan pelapor. Ia menekankan bahwa DPR tidak ingin terburu-buru menyimpulkan sebelum proses etik berjalan.
Di sisi lain, Arsul Sani memilih tampil secara terbuka untuk membantah seluruh tuduhan. Dalam konferensi pers di Gedung MK, Arsul menunjukkan ijazah dan disertasinya yang disebutnya berasal dari Warsaw Management University di Polandia. Ia menegaskan bahwa dokumen tersebut telah melalui legalisasi resmi Kedutaan Besar Indonesia di negara tersebut. Arsul juga menolak mengambil langkah hukum terhadap pihak yang melaporkannya, dengan alasan ia ingin menjaga etika sebagai pejabat lembaga negara.
Sementara itu, Komisi III DPR saat ini ikut terseret dalam pusaran kritik. Ketua Komisi III, Habiburokhman, menjelaskan bahwa DPR sebenarnya tidak memiliki kemampuan teknis untuk melakukan verifikasi akademik mendalam terhadap ijazah, terutama yang diterbitkan perguruan tinggi luar negeri. Ia menilai kritik yang diarahkan kepada Komisi III kurang tepat dan terkesan menjadikan dewan sebagai pihak yang disalahkan.
Kontroversi ijazah ini diperkirakan belum akan mereda dalam waktu dekat. MKD kini memegang peran penting untuk memastikan apakah ada pelanggaran etik dalam proses pengangkatan Arsul, sekaligus menjawab keraguan publik terhadap transparansi seleksi hakim konstitusi. (*)


Komentar