ROBANTV.CO.ID | LUMAJANG – Dilereng Semeru, ada satu infrastruktur yang perannya jauh lebih besar dari sekadar penghubung dua wilayah: Jembatan Gladak Perak. Selama bertahun-tahun, jembatan ini menjadi jalur vital antara Lumajang dan Malang, arus logistik, mobilitas warga, dan kegiatan ekonomi bergantung padanya. Namun, setiap kali Semeru menunjukkan aktivitasnya, peran krusial tersebut kembali diuji.
Ketika letusan dan awan panas guguran meluncur dari puncak Semeru, kawasan sekitar jembatan menjadi salah satu titik paling rentan. Aliran material vulkanik, termasuk abu dan pasir, kerap menutup badan jalan bahkan merusak struktur jembatan. Saat hujan turun, debu berubah menjadi lumpur licin yang membahayakan siapa pun yang mencoba melintas. Tidak jarang aparat menutup total akses demi keselamatan warga.
Gladak Perak bukan hanya fasilitas transportasi. Di bawahnya tersimpan sejarah: jembatan lama yang kini berstatus cagar budaya dan jembatan baru yang selama ini menjadi tumpuan mobilitas antar daerah. Keduanya pernah hancur diterjang lahar dingin pada erupsi besar 2021, membuat koneksi Lumajang–Malang terputus dan memaksa jalur dialihkan melalui Probolinggo.
Kerusakan itu membuka diskusi tentang kebutuhan rekonstruksi yang lebih tahan terhadap ancaman vulkanik. Pemerintah sempat menimbang pembangunan jembatan gantung sementara sambil mencari desain permanen yang lebih aman. Tantangannya bukan sekadar membangun ulang, tetapi memastikan infrastruktur tetap berfungsi pada saat masyarakat paling membutuhkannya, ketika bencana datang tanpa peringatan panjang.
Hari ini, Gladak Perak berdiri bukan hanya sebagai penghubung fisik. Ia menjadi simbol bagaimana wilayah rawan bencana harus terus beradaptasi. Setiap letusan Semeru mengingatkan bahwa keberadaan jembatan ini bukan hal biasa, ia adalah urat nadi yang menentukan cepat lambatnya evakuasi, distribusi bantuan, dan pulihnya kehidupan warga di kaki gunung tertinggi di Jawa Timur. (*)


Komentar