Robantv.co.id | Batang – Koordinasi lintas sektor pengelolaan wisata Pantai Sigandu menjelang libur Natal dan Tahun Baru berlangsung tanpa kehadiran Dinas Pariwisata. Kondisi ini memicu keluhan pengelola terkait penarikan retribusi yang dinilai tidak sebanding dengan fasilitas dan dukungan pengelolaan wisata Pantai Sigandu, Depok hingga Ujung Negoro. Pada rapat, justru menyoroti absennya Dinas Pariwisata Kabupaten Batang dalam forum koordinasi yang krusial tersebut.
Rapat membahas berbagai persoalan teknis, mulai dari pengaturan arus pengunjung, potensi kemacetan, keamanan pantai, kebersihan, hingga kenyamanan wisatawan. Meski demikian, pengelola menilai peran dinas terkait selama ini cenderung sebatas pada penarikan retribusi tiket masuk, tanpa diimbangi dukungan fasilitas maupun kehadiran langsung di lapangan.
Ketua Paguyuban Pengelola Wisata, Musaekhi, menyebut potensi kemacetan kerap terjadi di pintu masuk Depok dan area loket, khususnya di sisi barat Pantai Sigandu. Ia menyayangkan tidak adanya perwakilan Dinas Pariwisata yang seharusnya berperan dalam pengaturan dan pengendalian arus wisatawan.
“Biasanya pengunjung masuk dari pintu Depok dan loket. Di sebelah barat sering macet. Harusnya ada pengaturan dan arahan. Tapi yang kami rasakan, dinas justru tidak hadir dalam forum seperti ini,” ujar Musaekhi.
Ia menegaskan, selama ini pengelola di lapangan bekerja dengan keterbatasan, sementara kebijakan dan penarikan retribusi berjalan tanpa koordinasi yang seimbang. Musaekhi berharap dukungan konkret dari pemerintah daerah agar pengelolaan wisata selama Nataru berjalan aman dan tertib.
Dari unsur keamanan, Kapolsek AKP Ridwan menegaskan pentingnya penguatan penjagaan pantai dan kekompakan antarpengelola. Menurutnya, pengelola harus memiliki sistem komunikasi yang solid untuk merespons cepat jika terjadi insiden di laut.
“Kalau belum bisa menjaga seluruh pantai, minimal ada embrio penjaga pantai. Harus satu suara. Kalau satu titik ada masalah, titik lain bisa segera membantu,” tegasnya.
Kapolsek juga meminta pemasangan tanda batas area berbahaya menggunakan bambu, bendera merah, dan tali rafia agar mudah terlihat, terutama untuk mencegah anak-anak bermain di zona rawan.
Sementara itu, Kanit Gakum Polairud Aipda Eko Sri Widodo menyampaikan bahwa penjagaan pantai tidak harus sepenuhnya mengandalkan tenaga profesional. Warga atau pelaku usaha setempat dapat dilibatkan dengan pembagian tugas yang jelas.
“Paling tidak satu orang satu titik. Bisa dari pemilik warung atau keluarganya. Yang penting ada koordinasi dan imbauan keselamatan,” katanya.
Camat setempat, Kusrin, menyoroti persoalan sampah yang selalu meningkat tajam saat libur panjang. Ia meminta pengelola berkoordinasi dengan BUMDes dan pengelola sampah desa agar kebersihan kawasan tetap terjaga.

Namun, kritik paling tajam disampaikan Pengelola Resto Pantai Sigandu, Toni Akhmadi, Ia menilai pembagian tanggung jawab pengelolaan wisata selama ini tidak adil, karena beban keamanan dan kenyamanan justru ditanggung pelaku usaha, sementara pihak yang menarik retribusi nyaris tidak terlihat perannya.
“Keamanan itu harusnya banyak personel. Tapi faktanya, yang disuruh jaga justru pemilik warung. Sementara pihak yang menarik retribusi, tidak ikut turun tangan,” kata Toni.
Menurutnya, wisatawan pada dasarnya sudah sadar dan bersedia membayar tiket masuk. Namun, ia mempertanyakan ke mana arah penggunaan retribusi tersebut, mengingat minimnya fasilitas yang tersedia di kawasan wisata.
“Kalau retribusi diambil, output-nya harus jelas. Penjaga pantai, keamanan, fasilitas umum, tempat sampah. Jangan income diambil, tapi beban ditimpakan ke pengelola warung,” tegasnya.
Selain itu, Toni juga menyoroti persoalan kenyamanan pengunjung akibat maraknya pengamen dan badut yang keluar-masuk warung secara berulang dan kerap memaksa.
“Pengamen bisa dua sampai tiga kali masuk ke warung yang sama. Sudah ditolak tapi tetap memaksa. Pengunjung jadi tidak betah dan akhirnya pergi,” ujarnya.
Ia menambahkan, jika Pantai Sigandu dan kawasan sekitarnya ingin dijadikan destinasi wisata unggulan, maka pengelolaan harus dilakukan secara serius dan profesional, bukan sekadar berorientasi pada penarikan retribusi.
“Di perda jelas, retribusi harus sebanding dengan fasilitas. Kalau fasilitas minim, ya wajar kalau kami di bawah mengeluh,” pungkasnya.
Rapat tersebut menyimpulkan pentingnya kolaborasi nyata antara pengelola wisata, aparat keamanan, pemerintah kecamatan, dan khususnya Dinas Pariwisata agar pengelolaan wisata tidak timpang dan pelaksanaan wisata selama Nataru benar-benar aman, tertib, bersih, dan nyaman. (**)


Komentar