Hukum Humaniora Nasional Polri Regional
Beranda / Regional / Air Mata Janda Perwira Polisi: 2 Tahun Menanti Keadilan di Tengah Reformasi Polri

Air Mata Janda Perwira Polisi: 2 Tahun Menanti Keadilan di Tengah Reformasi Polri

Notaris Aisyah

robantv.co.idIPemalang — Jumat pagi (7/11/2025) itu, halaman Polres Pemalang tampak lengang. Seorang perempuan berbusana hitam berjalan perlahan menuju ruang Satreskrim. Langkahnya gontai, seperti menanggung beban berat yang tak terlihat.

Perempuan itu adalah Dr. Nur Aisyah, notaris asal Batang, yang juga istri almarhum perwira polisi mantan Kasat Reskrim Polres Tegal Kota.

Sudah dua tahun ia menunggu keadilan atas kasus dugaan penipuan yang merugikannya. Namun, yang datang bukan kabar baik — hanya rasa lelah dan kecewa yang makin dalam.

Sesekali, Aisyah menyeka air mata yang tiba-tiba menitik di pipinya. Wajahnya menunduk, matanya basah menahan kesedihan yang tak kunjung selesai.

Hari itu, ia datang lagi ke Polres Pemalang, menanyakan perkembangan laporan yang telah ia buat sejak tahun 2023 — laporan yang hingga kini belum menyentuh orang yang dianggapnya pelaku utama.

Langkah Sehat, Guru Kuat: PGRI Warungasem Gebyar HUT ke-80 dan HGN 2025!

“Saya datang bukan untuk marah, tapi untuk mencari keadilan. Saya hanya ingin tahu, kapan pelaku yang sebenarnya akan diproses,” ucapnya lirih, ditemani kuasa hukumnya dari Master Justice Law Office.

Dua Tahun Kasus Menggantung

Kasus yang menjerat Aisyah bermula dari perkenalannya dengan seorang pengusaha berinisial DY, yang menjanjikan kerja sama proyek pembebasan lahan dan urugan tanah di wilayah Pemalang.

DY meminta bantuan dana dengan alasan untuk biaya survei dalam rangka pencalonannya sebagai Bupati Pemalang. Sebagai jaminan, ia menyerahkan cek Bank BCA senilai Rp350 juta.

Namun, janji itu hanya tinggal janji.

Kembali Satpol PP Pemalang Razia Warung Remang-remang, 7 Orang Terjaring

Saat waktu jatuh tempo tiba, 1 Agustus 2023, cek tersebut tidak bisa dicairkan. Nilai kerugian yang bisa dibuktikan mencapai sekitar Rp100 juta, tapi luka moral dan psikologis yang dialami jauh lebih besar.

“Cek itu kosong, tidak ada dananya. Tapi yang diseret ke pengadilan justru hanya perantara, bukan orang yang membuat dan memberikan cek tersebut,” ujar Huseinda Kusuma, S.H., M.H., kuasa hukum Aisyah.

Selama dua tahun, Aisyah mendatangi berbagai lembaga hukum. Ia berulang kali berhadapan dengan penyidik dan jaksa, namun hasilnya tetap sama — pelaku utama masih bebas, sementara proses hukum berjalan tersendat.

Duka yang Tak Pernah Usai

Di ruang Reskrim Polres Pemalang itu, Aisyah duduk diam. Di hadapannya, berkas-berkas tebal kasus lamanya tergeletak di meja penyidik.

Setelah Bertahun-Tahun Rusak, Jalan di Simpur Dipastikan Dibangun Tahun 2026

Ia memandangi lembaran itu lama, seolah berharap keadilan bisa keluar dari tumpukan kertas yang penuh tanda tangan.

Baginya, kasus ini tak hanya soal uang, tetapi tentang harga diri dan perjuangan suaminya semasa hidup.

Ia masih mengingat dengan jelas bagaimana almarhum suaminya — seorang polisi yang menjunjung tinggi hukum — datang sendiri ke rumah DY untuk menagih janji pengembalian dana. Namun, bukannya disambut, sang suami justru diusir oleh satpam.

“Suami saya pulang dengan emosi. Beliau punya darah tinggi, dan esoknya langsung masuk rumah sakit. Tak lama setelah itu, beliau meninggal,” kata Aisyah dengan suara bergetar.

“Saya kehilangan suami, kehilangan ketenangan, dan sampai hari ini, saya belum mendapatkan keadilan.”

Ujian bagi Reformasi Polri

Kasus yang dialami Aisyah kini menjadi ujian nyata bagi semangat reformasi Polri yang selama ini digaungkan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

Reformasi sejati bukan sekadar pembenahan struktur atau seragam baru, melainkan bagaimana Polri berdiri tegak membela rakyat, bahkan ketika yang mencari keadilan adalah keluarga dari anggotanya sendiri.

“Kalau keluarga besar Polri saja kesulitan mencari keadilan, bagaimana nasib masyarakat kecil? Kami ingin reformasi Polri tidak berhenti pada slogan, tapi benar-benar hadir untuk melindungi dan menolong,” ujar Huseinda Kusuma.

Selama dua tahun, Aisyah belajar arti sabar dan kuat. Ia tidak pernah menjelekkan aparat, tidak pernah mengumbar amarah. Yang ia minta hanya satu — tegakkan hukum secara adil.

Harapan kepada Kapolri dan Presiden Prabowo

Kini, langkah Aisyah tidak berhenti di Polres Pemalang. Ia bersama tim hukumnya tengah menyiapkan permohonan gelar perkara di Bagwasidik Polda Jawa Tengah, agar penyidikan dapat ditinjau kembali secara menyeluruh.

Ia berharap kasus ini mendapat perhatian langsung dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Presiden Prabowo Subianto, yang dikenal tegas dalam menegakkan keadilan.

“Saya percaya, Bapak Kapolri punya hati nurani untuk melihat ini. Saya percaya Bapak Presiden juga peduli pada rakyat kecil seperti saya. Saya hanya ingin hukum ditegakkan dengan jujur dan benar,” kata Aisyah dengan mata yang berkaca-kaca.

Keadilan Bukan Sekadar Janji

Perjuangan Aisyah adalah potret kecil dari wajah hukum Indonesia — tentang bagaimana keadilan sering kali harus diperjuangkan dengan air mata.

Namun, di balik kelembutan dan kesedihannya, Aisyah menyimpan keyakinan besar bahwa kebenaran akan menemukan jalannya.

“Saya datang ke sini bukan untuk menantang siapa pun. Saya datang sebagai warga negara yang percaya pada hukum. Saya ingin reformasi Polri benar-benar berarti — agar hukum tidak tumpul ke atas, tapi tajam keadilan bagi semua,” ujarnya perlahan.

Langit Pemalang siang itu tampak mendung. Dr. Aisyah melangkah keluar dari ruang Reskrim dengan mata yang masih basah.

Namun, di balik langkah gontainya, ada tekad yang tak pernah padam — tekad seorang perempuan, istri seorang penegak hukum, yang percaya bahwa suatu hari nanti, keadilan pasti datang. (red)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Profil | Redaksi | Pedoman Media Siber | Perlindungan Profesi Wartawan| Kode Etik Jurnalistik| Kebijakan Privasi