Feature
Beranda / Feature / Belajar Menjadi Tua: Jagongan tentang Umur, Wayang, dan Makna Hidup

Belajar Menjadi Tua: Jagongan tentang Umur, Wayang, dan Makna Hidup

IMG 20251217 WA0059

Robantv.co.id – Asap kopi mengepul pelan di angkringan kecil itu, ketika Oding melontarkan kegelisahan yang barangkali juga milik banyak orang: hidup terasa seperti ladang ranjau, salah langkah sedikit saja bisa meledak dan menghanguskan segalanya. Wak Kaji hanya tersenyum, tenang seperti orang yang sudah berkali-kali melewati “ledakan” itu sendiri. Baginya, usia bukan deretan angka sial, melainkan pergantian gigi mesin kehidupan. Ada saatnya hidup dipacu, ada waktunya harus mengendur dan mengubah arah. Orang Jawa, kata Wak Kaji, menyebut proses itu sebagai penyepuhan—dibakar, dipukul, didinginkan—agar manusia tidak sekadar menua menjadi sepah, tetapi matang menjadi sepuh, berisi, dan tahan karat zaman.
Percakapan sederhana itu menjelma menjadi cermin panjang perjalanan manusia: dari fase bocah yang panas mengejar harta, dewasa yang sibuk menaklukkan dunia, hingga tua yang seharusnya belajar melepaskan dan memberi restu. Di titik-titik umur tertentu—33, 40, 60—hidup memang terasa bergetar, bukan karena kutukan, melainkan karena tuntutan untuk naik gigi. Siapa yang gagal mengoper persneling batinnya, akan terjebak dalam krisis tak berkesudahan. Dan di antara tawa, olok-olok, serta kopi yang keburu dingin, Wak Kaji menutup petuahnya dengan satu pesan halus: seni menjadi tua bukan soal bertahan di panggung utama, melainkan tahu kapan harus lengser, minggir ke tepi lapangan, dan membiarkan yang muda berlari—sementara kita mengasuh, menuntun, dan mendoakan dari kejauhan.

Oding: “Wak, Katanya umur manusia itu ada ‘ledakan-ledakan’-nya. Terutama di Umur 33, 46, terus 60. Kok rasanya hidup kayak ranjau ya, Wak? Salah langkah dikit, duarrr, bisa hancur.”!”
.
Wak Kaji: (Tersenyum sambil meletakkan gelas kopi) “Hahaha. Kamu itu, Ding. Wong Jowo kok kagetan!! Itu bukan ranjau, Ding. Itu namanya Tumbukan atau momen pergantian gigi mesin hidupmu. Kalau di tanjakan kamu nggak oper gigi, ya mesinmu yang meledak. Orang Jawa itu melihat umur bukan sekadar angka yang bertambah, tapi proses ‘penyepuhan’, biar jadi Sepuh, bukan cuma jadi Sepah (ampas).”
.
Oding: “Bedanya Sepuh sama Sepah apa, Wak?”
.
Wak Kaji: “Kalau Sepah itu tua tapi kosong, kayak ampas tebu yang manisnya sudah habis disedot. Kalau Sepuh itu kayak proses pembuatan keris. Bahannya atau besi itu dibakar, dipukul, didinginkan, dibakar lagi. Dan tahap akhir yaitu disepuh biar memunculkan pamor, melindungi dari karat, memperkuat struktur, dan memberikan kekuatan magis/filosofis . Makanya, kalau orang sudah tua, sebutannya ‘Sepuh’. Badannya mungkin sudah jadi ampas tebu (Sepah), tapi jiwanya sudah matang (Sepuh). Jangan sampai kamu tua tapi cuma jadi Sepah, nggak ada isinya.”
.
Oding: “Waduh, berat. Terus bedanya sama aku yang masih muda apa?”
.
Wak Kaji: “Lha kamu itu masih fase ‘Bocah’ atau ‘Joko’. Isimu masih ‘Panas’. Masih Golek Upus (cari makan/harta). Kalau sudah tua nanti, harusnya jadi ‘Dingin’, ganti jadi Golek Urip (cari makna hidup). Kalau sudah tua tapi kelakuanmu masih panas kayak anak muda, itu namanya tua-tua keladi, menyalahi kodrat alam.”
.
Oding: “Terus hitungan ‘ledakan’ tadi dari mana asalnya, Wak? Kok ada umur 33 segala?”
.
Wak Kaji: “Itu ilmu titen leluhur pakai hitungan Windu. Satu Windu itu siklus 8 tahun. Hidupmu itu kayak naik tangga tiap sewindu:
.
-Windu I & II (0-16 tahun): Itu fasemu nggedekne wadag (besarin badan) sama mulai kenal nafsu. Makanya anak 16 tahun itu nafsunya lagi liar-liarnya, butuh disupit (khitan) biar terkendali.
.
-Windu III (17-24 tahun): Nah, ini fase Sinom. Daun muda. Paling bahaya. Godaan Mo-Limo (Maling, Main/Judi, Madon, Mabok, dll) paling kenceng di sini. Kalau kamu lolos di sini tanpa hancur, insyaAllah ke depannya aman.”
.
Oding: “Wah, aku lolos Wak! Sekarang aku kan 28 tahun.”
.
Wak Kaji: “Iya, kamu masuk Windu IV (25-32 tahun). Ini fase Griyo dan Kromo. Waktunya kamu bangun rumah, nikah, punya ‘gawean’ (kerjaan). Fokusmu harusnya sudah nggak main-main, tapi babat alas buat masa depan.”
.
Oding: “Nah, yang tadi itu ada ledakan lagi di umur 33 sama 40-an. itu kenapa keramat, Wak?”
.
Wak Kaji: “Dalam hitungan Jawa, umur 33 itu titik matang pertama secara emosi. Tapi yang paling gawat itu umur 40, namanya Tumbuk Alit. Ibarat perjalanan, umur 40 itu pintu gerbang . Di Islam juga kan Kanjeng Nabi dapat wahyu umur 40. Filosofinya gini, Ding: Sebelum 40, kamu sibuk ngejar dunia (Dunyo), sibuk Golek Upus (cari makan/harta) itu dimaklumi. Tapi begitu masuk 40, peluit ditiup.. priiit! Waktunya putar balik ke dalam (Inward looking), menjadi Golek Urip (cari makna hidup). Banyak orang stres atau kena ‘Puber Kedua’ di usia segini karena mereka telat putar balik. Masih pengen nambah istri muda, masih gila jabatan. Padahal harusnya mulai Sembah Cipta dan Sembah Jiwa kayak di Serat Wedhatama. Kalau gagal oper gigi di sini, hidupnya bakal ambyar sampai tua.”
.
Oding: “Ngeri juga ya… Terus kalau yang umur 60 gimana, Wak? Katanya itu ‘ledakan’ terakhir?”
.
Wak Kaji: “Itu puncaknya. yaitu 8 Windu, ketemunya 64 tahun. Namanya Tumbuk Ageng. Kalau kamu sampai umur segitu, itu artinya kamu sudah ‘Lahir Kembali’. Kamu sudah menang lawan seleksi alam. Makanya, orang usia 60 ke atas disebut Sewidak (Sejatine Wis Wayahe Tindak / Sejatinya Sudah Saatnya Pergi). Di fase ini, orang tua harusnya sudah nggak mikir duit lagi, tapi siap-siap pulang. Badannya makin lemah, tapi Sawab (aura spiritual)-nya makin kuat. Doanya orang yang sudah Tumbuk Ageng itu Mandhi (mustajab) banget, Ding. Makanya orang tua yang sudah Tumbuk Ageng itu dihormati bukan karena hartanya, tapi karena ‘tuah’-nya.”
.
Oding: “Tapi Wak, kenapa ya ada orang tua yang malah makin rewel, galak, persis kayak anak kecil lagi?”
.
Wak Kaji: “Nah, itu karena dia gagal mendamaikan Sedulur Papat-nya. Di dalam diri kita ini ada 4 saudara: Amarah (emosi), Supiyah (keinginan/romansa), Aluamah (serakah makan/harta), sama Mutmainah (bijaksana). Pas muda, si Pancer (Ego kita) sering kalah sama Amarah dan Aluamah. Tugasnya orang tua itu menyatukan itu semua. Kalau orang tua masih galak dan rewel, berarti ‘parlemen’ di kepalanya bubar jalan. Egonya belum bisa jadi pemimpin yang bijak. Kasihan itu, jiwanya tersiksa.”
.
Oding: “Jadi kuncinya apa Wak biar aku nggak salah jalan pas tua nanti? Biar nggak jadi ‘tua-tua keladi’?”
.
Wak Kaji: “Kuncinya ‘Lengser Keprabon’. Tahu artinya? Turun tahta. Kalau sudah tua, jangan genggam kekuasaan terus. Kasihkan ke anak muda. Orang tua itu tugasnya bukan memerintah lagi, tapi memberi restu (Pangestu). Kalau kamu ikhlas melepaskan dunia (Lilo Legowo), kamu bakal jadi orang tua yang Semeleh (tenang). Itu seni menjadi tua, Ding. Tua itu bukan penyakit, itu seni kembali ke aspal… eh, kembali ke Asal.”
.
Oding: “Wah, Berarti intinya, tiap nambah umur, aku harus cek ‘persneling’ hatiku ya. Jangan sampai mesin meraung di gigi satu terus.”
.
Wak Kaji: “Betul, Ding. Coba kamu lihat dunia Wayang, itu cermin hidup manusia.
.
Fase Muda (Nakula-Sadewa): Pas muda kamu kayak si kembar ini. Masih labil, suka ikut-ikutan tren, belum punya pendirian tetap.
.
Fase Dewasa (Arjuna): Masuk umur 30-an sampai 40-an, kamu jadi Arjuna. Gagah, sakti, rebutan wanita, ngejar karir. Orang Jawa bilang ini masa ‘lagi akeh-akehe butuh’ (sedang banyak-banyaknya kebutuhan). Di sini egomu lagi tinggi-tingginya.
.
Fase Tua (Yudhistira): Masuk umur 50-an, kamu harus berubah jadi Yudhistira. Darahnya putih, artinya hatinya suci. Dia sabar, nrimo, tidak suka perang, dan penuh integritas. Kalau sudah tua masih petantang-petenteng ngajak berantem kayak Arjuna, itu namanya tidak tahu diri.
Nah, puncaknya pas Sepuh (60+), pilihannya cuma dua, Ding: Mau jadi Resi Bhisma atau Semar?
.
Bhisma itu sakti mandraguna, tapi matinya susah, tertusuk ribuan panah. Kenapa? Karena dia telat melepaskan. Dia terikat sumpah menjaga tahta Astina, padahal zamannya sudah berubah. Dia orang tua yang masih ingin campur tangan urusan anak muda, akhirnya malah jadi penghalang dan menderita sendiri.
.
Jadilah seperti Semar. Semar itu Dewa tapi wujudnya rakyat jelata. Dia tidak punya jabatan, tidak memerintah, tugasnya cuma Ngemong (mengasuh). Dia ‘Lengser Keprabon’ dari kahyangan untuk melayani. Walaupun dia cuma pengasuh, tapi kata-katanya didengar oleh para Raja dan Ksatria. Itulah tua yang sejati, Ding. Sepuh, Sumeleh, tidak memegang kekuasaan lagi tapi dihormati karena kebijaksanaannya.”
.
Oding: “Wah, dalem banget, Wak. Jadi tua itu bukan soal leyeh-leyeh ya, tapi soal ganti peran dari ‘Pemain Utama’ jadi ‘Pelatih’?”
.
Wak Kaji: “Betul! Jangan main bola terus sampai napasmu habis. Minggir, kasih lapangan ke yang muda, kamu jadi pelatih saja di pinggir lapangan. Itu namanya Ngerti wayah (tahu waktu). Seperti Club kesayanganmu itu, sekarang dilatih Arteta mantan pemain Arsenal Juga kan? Btw kapan Arsenal juara Liga Inggris? udah 20 tahun lebih loh, Mosok Runner-up terus?”
.
Oding: “Pliiss, Wak.”
.
Wak Kaji: “Hahahaha…. Udah, kopinya diminum, keburu dingin kayak hati mantanmu.”
.
Oding: “Ah…kenapa Endingnya malah ngeselin gini.”
.
Wak Kaji: “Wkwkwkwkwkwk….

Ditulis Oleh : M. Khamdi

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Profil | Redaksi | Pedoman Media Siber | Perlindungan Profesi Wartawan | Kode Etik Jurnalistik | Kebijakan Privasi