ROBANTV.CO.ID | TANGERANG – Di sebuah sekolah negeri di Tangerang Selatan, kehidupan seorang remaja berusia 13 tahun berakhir tragis. MH, siswa kelas VIII, meninggal setelah berbulan-bulan diduga menjadi sasaran perundungan yang dilakukan teman-teman sekelasnya—sebuah fakta yang baru terkuak saat tubuhnya tak lagi sanggup menahan rasa sakit.
Kisah ini berawal dari pengakuan keluarga yang menyebut bahwa tekanan terhadap MH sudah terasa sejak hari-hari pertama ia mengenakan seragam putih-biru. Pada masa orientasi sekolah, MH mulai mengalami tindakan tidak menyenangkan yang perlahan berubah menjadi pola kekerasan fisik. Ia dipukul, ditendang, dan secara sosial diisolasi. Namun semuanya mencapai titik paling kelam pada 20 Oktober, ketika sebuah insiden di kelas membuat kesehatannya merosot tajam. Di hari itu, MH diduga dipukul di bagian kepala menggunakan kursi oleh salah satu siswa lain—peristiwa yang diduga menjadi pemicu utama kerusakan kondisi tubuhnya.
Sejak insiden tersebut, MH jatuh sakit. Menurut keluarganya, ia kerap mengeluh pusing, pandangannya kabur, dan tubuhnya sering kehilangan kekuatan hingga membuatnya jatuh pingsan. Kondisi itu memaksa keluarga membawa MH berpindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain, sebelum akhirnya ia dirawat intensif di RS Fatmawati, Jakarta Selatan. Selama sepekan, tim medis berusaha menjaga stabilitas tubuh remaja itu. Namun, pada akhirnya MH mengembuskan napas terakhir.
Pihak kepolisian Tangerang Selatan kini tengah menyelidiki rangkaian kekerasan yang dialami MH. Hingga kini, sejumlah saksi termasuk guru dan teman sekelas telah diperiksa untuk menggali detail kejadian. Sementara itu, pihak sekolah menghadapi sorotan publik karena dugaan lemahnya pengawasan dan respons terhadap laporan yang disebut telah muncul sebelum kondisi MH memburuk.
Kasus ini menarik perhatian luas karena mengungkap kegagalan lingkungan sekolah dalam melindungi siswa dari kekerasan yang berlangsung selama berbulan-bulan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia mendesak agar penyelidikan dilakukan secara tuntas, mengingat perundungan yang dialami MH tidak hanya bersifat psikologis tetapi juga berujung pada trauma fisik yang fatal.
Di pemakaman MH, suasana duka menyelimuti keluarga dan kerabat. Wajah-wajah yang hadir bukan hanya menanggung kehilangan, tetapi juga kemarahan terhadap sebuah sistem yang gagal mencegah tragedi. Bagi banyak orang, kematian MH bukan sekadar kasus bullying—tetapi sebuah peringatan keras tentang bahaya perundungan yang dibiarkan tumbuh di ruang-ruang belajar yang seharusnya aman bagi setiap anak. (*)


Komentar