ROBANTV.CO.ID | SEMARANG – Suasana di sebuah kamar kos yang berfungsi seperti hotel di kawasan Gajahmungkur, Semarang, mendadak berubah sunyi pada 17 November 2025. Di ruangan itulah, seorang dosen Universitas 17 Agustus 1945 Semarang, DLV, ditemukan tak bernyawa. Kabar tersebut langsung menyebar, bukan hanya karena status korban sebagai akademisi, tetapi juga karena ada satu nama lain yang ikut terseret: seorang perwira polisi berpangkat AKBP.
Hari itu, hidup seorang anggota Polri bernisial AKBP B berubah total. Dari seorang perwira menengah, ia kini menghuni ruang penempatan khusus (patsus) di Polda Jawa Tengah. Selama 20 hari, mulai 19 November, ia ditahan sebagai bagian dari pemeriksaan internal menyusul dugaan pelanggaran kode etik. Tuduhannya bukan sekadar administratif: AKBP B diduga tinggal bersama korban tanpa ikatan perkawinan yang sah.
Di kampus Untag Semarang, percakapan mahasiswa dan alumni dipenuhi tanda tanya. Bagaimana seorang dosen yang dikenal tertib dan aktif dalam kegiatan akademik bisa ditemukan meninggal secara misterius? Dan mengapa seorang perwira polisi diketahui berada dalam lingkaran kejadian itu?
Sejumlah pihak menyebut ada kejanggalan menjelang kematian DLV. Beberapa alumni bahkan menyoroti peran AKBP B sebagai salah satu orang terakhir yang diduga hadir sebelum korban ditemukan tak bernyawa.
Disisi lain, kepolisian menyebut pemeriksaan luar terhadap jenazah tidak menemukan tanda kekerasan. Namun itu tak serta-merta menutup ruang spekulasi. Polisi tetap merencanakan autopsi untuk memastikan apa yang sebenarnya merenggut nyawa akademisi tersebut.
Tidak ingin kasus ini menguap di tengah tekanan publik, Bidang Profesi dan Pengamanan (Bidpropam) Polda Jateng mengambil langkah tegas. AKBP B ditempatkan dalam ruang khusus. Kabid Propam Kombes Pol Saiful Anwar menegaskan bahwa tidak ada perlakuan istimewa bagi siapapun.
“Setiap anggota yang terbukti melanggar aturan akan diproses tanpa pandang bulu,” ujarnya.
Penahanan ini dianggap sebagai langkah awal untuk memastikan pemeriksaan berjalan objektif dan transparan—dua kata kunci yang belakangan banyak dituntut publik ketika ada kasus yang melibatkan aparat.
Kematian DLV bukan sekadar sebuah temuan jenazah. Ia berubah menjadi simpul dari berbagai pertanyaan: hubungan seperti apa yang terjalin? Apa yang terjadi beberapa jam sebelum korban ditemukan? Adakah tekanan, konflik, atau faktor medis yang belum diungkap?
Kamar kecil di Gajahmungkur itu kini menjadi saksi bisu, sementara penyelidikan polisi harus menjawab teka-teki yang tertinggal.
Hingga kini, publik masih menunggu hasil autopsi dan perkembangan pemeriksaan terhadap AKBP B. Di tengah proses panjang ini, satu hal menjadi terang: kasus ini bukan hanya soal pelanggaran etik, tetapi juga tentang bagaimana institusi menegakkan keadilan ketika salah satu anggotanya berada di tengah pusaran persoalan.
Kematian seorang dosen dan keterlibatan seorang polisi berpangkat menengah menyisakan ruang misteri yang belum menemukan ujung. Dan di balik itu semua, masyarakat berharap: kebenaran akhirnya muncul dari balik kamar sunyi itu. (*)


Komentar