robantv.co.idIBatang-Di antara tumpukan berkas hukum dan ruang-ruang sunyi tempat pengaduan diajukan, seorang perempuan masih teguh berdiri memperjuangkan apa yang diyakininya sebagai kebenaran. Namanya Nur Aisyah, seorang notaris dan juga istri dari almarhum perwira polisi yang pernah menjabat Kasat Reskrim di Polres Tegal Kota.
Kini, tanpa pendamping hidup yang dulu berdiri di sisi hukum, ia justru berjuang sendiri menegakkan keadilan — kali ini bukan untuk orang lain, melainkan untuk dirinya sendiri.
Kasus yang menimpanya bermula dari kepercayaan. Ia mengenal seseorang berinisial J, makelar yang mempertemukannya dengan seorang pengusaha bernama Dewa Yoga (DY). Awalnya, hubungan itu tampak profesional. Namun, dari urusan proyek pembebasan lahan, situasi berbelok menjadi persoalan pinjaman uang dengan iming-iming cek bernilai ratusan juta rupiah yang akhirnya tak bisa dicairkan.
Kerugian seratus juta rupiah mungkin terlihat kecil bagi sebagian orang, tapi bagi Nur Aisyah, yang lebih terluka adalah keyakinannya bahwa hukum semestinya melindungi, bukan membingungkan.
Yang membuat kisah ini begitu mengusik nurani adalah perjalanan panjangnya mencari kejelasan. Setelah penyidikan berjalan, hanya satu orang, sang perantara berinisial J, yang ditetapkan sebagai tersangka. Sementara nama lain yang disebut dalam rangkaian peristiwa itu belum tersentuh hukum.
Aisyah merasa, ada yang belum tuntas, ada kebenaran yang seolah tertinggal di balik meja penyidikan.
Dalam pertemuannya dengan pihak kepolisian di Polres Pemalang, ia sempat mendengar bahwa hasil gelar perkara sebelumnya menunjukkan Dewa Yoga sebenarnya bisa dijadikan tersangka. Namun, ketika pergantian pejabat terjadi — Kasat baru, Kanit baru — arah penanganan pun tampak berubah. Ia mendengar sendiri bagaimana salah satu perwira menyarankan agar dirinya mengirim surat ke Bagwasidik Polda Jawa Tengah untuk meminta asistensi.
Surat itu kini tengah ia siapkan, bukan karena ingin memperpanjang urusan, tapi agar proses hukum kembali berada di relnya.
Dalam hati kecilnya, Aisyah masih percaya pada institusi yang dulu menjadi bagian dari hidup suaminya. Ia percaya, hukum tetaplah jalan terakhir mencari keadilan. Namun ia juga sadar, kepercayaan itu kini sedang diuji.
“Kalau saya yang tahu hukum saja bisa dibuat lelah, bagaimana dengan masyarakat biasa?” ujarnya pelan, lebih sebagai renungan daripada keluhan.
Pertanyaan itu menggema: jika seorang istri perwira polisi saja harus berjuang keras untuk didengar, bagaimana nasib rakyat kecil yang bahkan tak tahu ke mana harus mengadu?
Siapa yang akan mereka datangi, bila justru yang mereka keluhkan adalah aparat penegak hukum itu sendiri?
Perjalanan Nur Aisyah belum selesai. Bersama tim kuasa hukumnya dari Master Justice Law Office, ia kini tengah menempuh langkah lanjutan: mengajukan gelar perkara di tingkat Polda Jawa Tengah, agar seluruh pihak yang diduga terlibat bisa ditelaah secara adil.
Langkah itu bukan perlawanan, melainkan bentuk keyakinan bahwa hukum masih punya ruang untuk dikoreksi oleh nurani.
Di akhir perbincangan, Aisyah menunduk sejenak, seolah berbicara pada suaminya yang telah tiada. Ia hanya ingin satu hal: keadilan berjalan untuk semua orang, tanpa pandang siapa dan di mana posisi mereka berdiri.(red)
