Robantv.co.id | Batang – Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) semestinya menjadi tameng agar anak-anak belajar tanpa kelaparan. Tapi kenyataan di Kabupaten Batang justru memunculkan ironi: makanan basi, telur busuk, hingga kasus keracunan. Alih-alih menyehatkan, program ini malah seperti eksperimen yang membahayakan masa depan siswa.
Kemarahan publik akhirnya tumpah dalam audiensi panas antara Koalisi Masyarakat Pengawas Anggaran dan Birokrasi (Komparasi) dengan Komisi IV DPRD Batang, Rabu (27/11/25). Ruang rapat penuh tekanan. Semua pihak hadir: SPPI sebagai pengelola dapur, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, hingga Dinas Pertanian.
Komparasi membeberkan fakta: banyak penyedia belum memiliki SLHS maupun NKV, dua syarat wajib agar dapur layak memproduksi makanan untuk anak sekolah.
Yang lebih mencengangkan, saat terjadi keracunan, biaya pengobatan justru dibiayai APBD. Uang rakyat dipakai menambal kelalaian penyedia.
“Kalau sampai ada korban jiwa, siapa yang bertanggung jawab? Uang rakyat itu bukan asuransi untuk kesalahan bisnis,” tegas Rizal Arifianto, Ketua Komparasi.
Komparasi juga menyoroti distribusi kuota yang tak merata: sekolah yang mampu justru kecipratan kuota, sekolah miskin malah terpinggirkan.
Kepala Dinas Pendidikan Batang, Bambang Suryantoro Sudibyo, ikut “curhat”:
“Kami tidak pernah dilibatkan dalam penetapan dapur maupun pembagian kuota. Kalau ada masalah baru kami dipanggil.”
Koordinator SPPI, Puji Lestari, menyebut kasus makanan basi sudah diberi sanksi: porsi tak layak tidak dibayar, dipotong dari insentif mitra. Keracunan di Kandeman? Disebutnya sudah ditanggung penyedia.
Soal banyak dapur tanpa sertifikasi? Ia menyebut masih proses. Kendalanya: pemasok daging bersertifikat masih minim.
“Supplier wajib taat aturan. Kami terus percepat,” ujar Puji.
Puncak panas terjadi ketika Ketua Komisi IV DPRD Batang, H. Taofani Dwi Arieyanto, SH, buka suara soal laporan pungutan dalam pelaksanaan MBG.
“Ada potongan Rp200 – Rp2.000 per porsi. Kalau benar, kualitas makanan jelas akan turun,” tegasnya.
Ia menekankan: anggaran Rp10.000 per porsi harus “mendarat” utuh di piring siswa. “Jangan ada yang makan jatah anak-anak. Titik.”
Komisi IV siap membentuk Satgas MBG. Mereka akan turun ke dapur, audit standar pangan, dan telusuri alur dana sampai pusat jika perlu.
Walau tensi rapat mendidih, semua sepakat: program ini tak boleh dihentikan. Siswa tetap harus makan, tapi penyimpangan harus disikat habis.
Publik menolak MBG berubah menjadi makanan basi gratis—olok-olok pahit dari program negara yang seharusnya mulia.
Audiensi ditutup dengan janji: pembenahan total sebelum generasi Batang menjadi korban program yang dikerjakan asal-asalan. (*)


Komentar