
PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu pilar industri tekstil Indonesia, resmi berhenti beroperasi sejak 1 Maret 2025. Keputusan ini mengejutkan banyak pihak, terutama setelah perusahaan yang telah berdiri sejak 1978 itu dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang. Akibatnya, lebih dari 10.966 karyawan harus menerima kenyataan pahit berupa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), sementara aset perusahaan kini siap dilego untuk melunasi utang.
Namun, di balik kepailitan ini, terdapat berbagai kejanggalan yang menimbulkan tanda tanya besar. Sejumlah pihak menilai Sritex tidak seharusnya bangkrut, mengingat perusahaan ini masih memiliki indikator bisnis yang sehat. Lalu, apakah ini benar-benar kehancuran alami atau ada skenario tersembunyi di baliknya?
Kejanggalan Proses Kepailitan
Pada November 2024, Ombudsman RI telah mengendus adanya kejanggalan dalam proses pailit Sritex. Anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika, mengungkapkan bahwa Sritex memiliki utang sekitar Rp 20 triliun, namun ironisnya, justru seorang kreditur asal India dengan piutang Rp 100 miliar yang berhasil mengajukan kepailitan perusahaan tersebut.
Lebih mencurigakan lagi, proses pailit ini berlangsung sangat cepat. Sidang dimulai pada September 2024, dan hanya dalam satu bulan, keputusan pailit telah diketok palu. “Kalau kita melihat contoh seperti kasus Garuda Indonesia, proses kepailitannya jauh lebih lama. Ini sangat aneh,” ujar Yeka.
Bahkan, Ombudsman mencurigai bahwa Sritex mungkin menjadi korban sindikasi “Burung Pemakan Bangkai”, sebuah pola di mana perusahaan sehat sengaja dibuat bangkrut untuk kepentingan pihak tertentu. Yeka menegaskan bahwa meskipun Sritex memiliki utang besar, perusahaan ini tidak pernah menunggak gaji karyawan dan rasio utangnya masih dalam batas wajar.
Temuan Mencengangkan dari Tim Kurator
Tim kurator yang menangani kepailitan Sritex juga menemukan beberapa keanehan lainnya. Berdasarkan investigasi mereka, ditemukan bahwa anak perusahaan Sritex, seperti PT Primayudha, PT Bitratex Industries, dan PT Sinar Pantja Djaya, masih beroperasi seperti biasa seolah tidak terjadi kepailitan. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Selain itu, salah satu alasan pailit yang disampaikan adalah krisis bahan baku. Namun, fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. “Kami menemukan stok bahan baku yang berlimpah, bahkan lebih banyak di PT Bitratex Industries dibandingkan di PT Sritex sendiri,” ungkap anggota tim kurator, Denny Ardiansyah.
Lebih mengejutkan lagi, tim kurator menemukan bahwa utang Rp 1,2 triliun yang membebani Sritex ternyata berasal dari perusahaan-perusahaan afiliasi dalam Grup Sritex sendiri. Fakta ini semakin menguatkan dugaan bahwa kebangkrutan Sritex mungkin bukanlah murni akibat krisis keuangan, melainkan adanya skenario tertentu di balik layar.
Keputusan pailit ini memberikan dampak besar bagi ribuan buruh Sritex. Pada hari terakhir bekerja, suasana haru menyelimuti pabrik. Beberapa karyawan saling bertukar tanda tangan di seragam kerja mereka sebagai kenang-kenangan, sementara yang lain menangis dan menyanyikan lagu perpisahan. Seorang buruh bernama Warti mengungkapkan kesedihannya, terutama karena PHK terjadi menjelang Ramadan dan Lebaran. “Anak saya masih sekolah, ini sangat berat bagi kami,” katanya.
Pemerintah telah berjanji untuk memastikan hak-hak buruh tetap terpenuhi, termasuk pesangon dan jaminan sosial. Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer, menyatakan bahwa negara akan membantu mencari lapangan pekerjaan bagi para pekerja yang terkena dampak PHK. Namun, hingga kini, para buruh masih menunggu kepastian mengenai pesangon mereka.
Benarkah Sritex Sengaja Dibangkrutkan?
Kasus Sritex menjadi bukti bahwa bangkrutnya sebuah perusahaan tidak selalu disebabkan oleh kesulitan finansial semata. Ada banyak faktor yang bisa bermain di balik layar, termasuk kemungkinan adanya kepentingan bisnis tertentu yang ingin mengambil alih perusahaan dengan harga murah.
Sritex mungkin telah tumbang, tetapi pertanyaan besar masih menggantung: apakah ini benar-benar akhir dari perusahaan legendaris ini, atau hanya awal dari permainan bisnis yang lebih besar? (Hamdi)