robantv.co.idIPekalongan — Sebuah dokumen langka dari masa pemerintahan kolonial Belanda mengungkap kisah menarik antara pejabat pemerintah Hindia Belanda dan ulama besar asal Kalisalak, Batang, yakni Haji Ahmad Ripangi. Surat bertanggal sekitar tahun 1858 itu ditulis oleh Franciscus Netscher, pejabat Residen Pekalongan, kepada Tuan Residen di Pekalongan.
Dalam surat tersebut, Netscher menyampaikan laporan Wedono Kalisalak mengenai aktivitas keagamaan yang dilakukan Haji Ahmad Ripangi. Laporan itu menyoroti kekhawatiran pejabat setempat terhadap pengaruh Ripangi di masyarakat, yang disebut memiliki banyak santri dari berbagai daerah.
“Dengan segala hormat saya menyampaikan kabar dari Tuan Haji Ahmad Ripangi di Kalisalak… Wedono tidak berani menanggung tanggung jawab karena telah menulis penjelasan di bawah ini,” tulis Netscher dalam suratnya.
Kekhawatiran Pemerintah Setempat
Dalam laporan itu, Wedono menyebut sejumlah hal yang dianggap berpotensi mengganggu ketertiban. Di antaranya, kegiatan pengajaran agama yang dilakukan Haji Ahmad Ripangi dinilai berbeda dengan ajaran umum pada masa itu, serta munculnya pengaruh besar dari para santrinya di wilayah Kalisalak.
Wedono juga mencatat adanya santri-santri dari berbagai daerah yang datang menimba ilmu kepada Ripangi, antara lain dari Wonosobo, Salatiga, Magelang, hingga Kendal. Sebanyak sebelas nama disebut secara lengkap dalam surat tersebut, termasuk Mas Soemodiwirjo dari Salatiga, Chasan Moeharom dari Limbang, serta beberapa santri lain dari Wonosobo.
“Wedono terlalu takut kalau Haji Ripangi masih berada di Kalisalak, sebab beliau tidak takut terhadap politik,” tulis laporan itu.
Saran untuk Memindahkan Haji Ripangi
Kekhawatiran itu mendorong pejabat lokal meminta agar Haji Ahmad Ripangi tidak lagi menetap di Kalisalak. Dalam suratnya, Netscher menuliskan usulan agar sang ulama dipindahkan ke Pekalongan atau tempat lain yang berada di bawah pengawasan pemerintah, dengan alasan menjaga ketertiban masyarakat.
“Saya rasa lebih baik, jangan Tuan Haji Ripangi ditempatkan di masjid atau di Pamboewan Pekalongan. Lebih baik jangan ada muridnya yang bertemu sampai ada perintah dari pemerintah,” tulis Netscher dalam surat yang ditutup dengan tanda tangan Regent Batang, Arie.
Nilai Sejarah yang Tinggi
Surat ini menjadi bukti kuat bagaimana dinamika antara kekuasaan kolonial dan ulama Nusantara pada abad ke-19 berlangsung dalam ketegangan ideologis dan politik. Haji Ahmad Ripangi Kalisalak sendiri dikenal sebagai tokoh pembaharu Islam yang pemikirannya berani dan luas, hingga menimbulkan perhatian besar dari pemerintah kolonial.
Naskah tersebut kini menjadi salah satu sumber penting dalam penelitian sejarah keislaman di Jawa, memperlihatkan bagaimana pengawasan terhadap tokoh agama dilakukan secara administratif dan politis oleh pemerintah Belanda. (Hamdi/red)